Family Ranch; Pemancingan; Saung Bambu Resto; Kolam Renang & Miniwaterboom

Pemancingan, Saung Bambu Resto dan Kolam Renang dengan Mini Waterboom "Buana Tirta" yang pertama dan satu-satunya tempat makan serta sekaligus tempat berekreasi, sangat cocok sekali untuk bersantai bersama keluarga atau pun bagi anak-anak muda yang ingin menikmati kebersamaannya di saung-saung yang asri;

Pemancingan, Saung Bambu Resto dan Kolam Renang dengan Mini Waterboom "Buana Tirta" ini bisa membuat kita sejenak meluangkan waktu untuk melepaskan kepenatan dari kesibukan kita setiap harinya. Tempat rekreasi "Buana Tirta" sangat menyatu dengan alam pedesaan, suasana yang sangat asri serta nyaman menjadikan kita bisa sejenak bersantai bersama keluarga, teman atau pun rekan bisnis anda;
Pemancingan, Saung Bambu Resto dan Kolam Renang dengan Mini Waterboom "BUANA TIRTA", juga melayani : Acara Rapat, Ulang Tahun, Presentasi, Arisan dan lain-lain. Jl. BBI (Balai Bibit Ikan) Kp. Parakan Badak,Desa Mekar Buana Loji - Pangkalan Kec. Tegal Waru Kab. Karawang Info:0857-111-44-159(Oky);

Follow Us @

Sekilas Tentang Karawang
Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, namun sebenarnya  prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan,  kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno  untuk  segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa  Soekarno Ke Rengasdengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal  17 Agustus 1945.  Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga  menyimpan potensi sumber-daya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam  tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah  lokasi  yang  diduga  merupakan  bangunan  candi  dari  masa  Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang belum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang  mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.
Letak dan Keadaan Geografi
Tidak  sukar  untuk  mengunjungi  Komplek  Percandian  Batujaya  yang ditemukan  pada tahun 1984 ini. Dari Pasar Rengasdengklok dapat ditempuh dengan kendaraan umum kurang lebih 30 menit melalui satu-satunya jalan yang menghubungkan kota ini sampai ke Pantai Pakis.  Sesampai di Desa Segaran perjalanan  masih  harus  dilanjutkan  dengan  menggunakan  ojek  yang  biasa mangkal di ujung jalan. Jangan kuatir akan tersesat karena dari jalan raya arah ke Desa Segaran telah tampak papan penunjuk yang berbunyi  “Candi Jiwa” meskipun  ukurannya  tidak  terlalu  besar.       Tetapi  tentu  jika  tidak  mau  repot memang lebih baik menggunakan kendaraan pribadi.
Komplek percandian ini letaknya tersebar dalam radius 5 hektare dan sebagian besar berada di areal pertanian.  Dari seluruh situs yang ditemukan baru candi Jiwa dan Blandongan yang  dibuatkan  jalan  setapaknya  sisanya  dapat  ditempuh  melalui  pematang sawah. Lumayan juga bisa menikmati suasana alam pertanian.  Dari 24 lokasi yang ditemukan, 13 lokasi berada di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan sisanya berada di Desa Telagajaya, Kecamatan Telagajaya.
Secara topografis, komplek ini berada pada dataran rendah aluvial dengan ketinggian sekitar 4 meter   di  atas  permukaan  laut.  Sebelah barat daya komplek merupakan daerah limpahan banjir dan di utara merupakan rawa yang selalu digenangi air  pada musim hujan. Dengan demikian kemungkinan komplek ini tergenang  air  banjir  sangatlah  kecil  karena  sekitarnya  merupakan  daerah kantung air.  Secara geografis, letaknya berada di ujung Karawang pada kordinat 6°06’15’’ - 6°16’17” Lintang Selatan dan 107°09’01” - 107°09’03” Bujur Timur.
Sekitar 500 meter di sebelah selatan candi ini mengalir Sungai Citarum yang  dimanfaatkan untuk irigasi air. Sungai utama yang mengalir di daerah Batujaya ini berhulu di lereng Gunung Wayang, Malabar.  Lebar sungai sekitar 40 -- 60 meter terutama di daerah hilir. Sungai ini tergolong berstadia tua dengan ciri  lembah  berbentuk  huruf  U  dan  aliran  sungai  berkelok-kelok. Mendekati muara di Laut Jawa, aliran sungai ini terpecah menjadi tiga yakni Solo Bungin, Solo Balukbuk,  dan Kali Muara Gembong. Selain Sungai Citarum di daerah Batujaya  terdapat tiga buah sungai yang bermuara di Laut Jawa yakni Sungai Pakis, Sukajaya, dan Cikiong.
Komplek  Percandian  Batujaya  yang  terletak  di  daerah  tanggul  alam hampir setiap tahun menerima lumpur banjir kiriman dari Sungai Citarum hingga menyebabkan permukaan tanah di daerah ini cenderung meningkat.  Hal ini juga yang  membuat  sebagian  besar  komplek  candi  ini  tertimbun  tanah  sampai kedalaman 1-2 meter pada saat ditemukan kembali.
Penduduk
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional, hanya saja luas areal pertanian sekarang berkurang disebabkan oleh adanya pemanfaatan areal pertanian yang tidak semestinya seperti perluasan daerah industri (industri besar maupun kecil) dan Perumahan.


Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional.  Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan  keahlian  yang  telah  dilakukan  secara  turun  temurun  dari  leluhur mereka. Hal  ini  dapat  diketahui  dari  hasil  penelitian  arkeologi  di  Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit merang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti.   Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.
Latar Belakang Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Komplek Percandian Batujaya
Pada awalnya masyarakat di Desa Segaran dan Desa Telagajaya, menyebut tinggalan candi yang sebagian besar terletak di tengah sawah tersebut dengan istilah unur atau bukit kecil. Hal ini wajar saja, mengingat jika dilihat secara sepintas, lokasi candi tersebut hanya berupa gundukan/ bukit kecil yang ditumbuhi oleh tanaman perdu serta pohon-pohon pisang. Dibandingkan dengan luas areal persawahan yang ada maka keberadaan unur-unur hampir tidak ada artinya.

Kehadiran komplek pemujaan Batujaya di daerah hilir Sungai Citarum sekitar pantai utara Jawa Barat tampaknya tidak lepas dari pengaruh pertumbuhan sosial ekonomi yang berkembang di daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah pantai utara Jawa Barat telah menjadi wilayah perlintasan bagi pelayaran dan perdagangan internasional antara India -- Cina. Bukti arkeologi berupa temuan fragmen tembikar yang dikenal dengan tembikar arikamedu di daerah Buni, Kabupaten Karawang- berasal dari abad pertama masehi - memberi indikasi kuat bahwa pada saat itu, daerah di sekitar pantai telah tumbuh permukiman-permukiman kuna yang merupakan kelanjutan dari masa prasejarah dan memberi andil dalam lintas perdagangan internasional.

Lepas dari komoditas yang ditawarkan oleh daerah ini tampaknya pada awal-awal Masehi - sebelum munculnya Kerajaan Tarumanagara - kawasan di sepanjang pantai utara Jawa Barat telah tumbuh daerah-daerah permukiman. Lalu dalam tahap yang lebih lanjut berkembang menjadi bandar-bandar pelabuhan yang berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sosial ekonomi dan politik masyarakat Sunda kuna. Hal ini diperkuat dengan catatan Clodius Ptolomeus dari abad ke 2-3 Masehi yang membuat peta perjalanan dengan menyebut beberapa nama dan tempat di Indonesia terutama di dekat Selat Sunda. Sumber tertulis yang berasal dari Tome Pires (1512) menyebutkan adanya enam pelabuhan yang semuanya terletak di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Kota-kota pelabuhan tersebut adalah Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa dan Chemano .

Aktivitas perdagangan ini terjadi tidak hanya di tepi pantai/ bandar pelabuhan, melainkan ada pula yang membawa sampai ke daerah pedalaman melalui sungai-sungai besar seperti Sungai Citarum. Temuan arkeologi berupa keramik asing yang terdapat di sepanjang Sungai Citarum memberikan gambaran tentang aktivitas perdagangan yang terjadi pada masa lalu. Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumarah A. (1983) terhadap temuan keramik asing menunjukkan bahwa para pedagang ini berasal dari daerah Cina, Vietnam, Thailand dan Eropa pada masa yang lebih muda. Temuan keramik Cina yang tertua berasal dari Cina Selatan sekitar abad ke-7 Masehi.

Di sisi lain, berdasarkan temuan sejumlah prasasti di ketahui bahwa sekitar abad ke-5 Masehi telah berdiri sebuah kerajaan yang bersifat hinduistik yakni Kerajaan Tarumanagara. Daerah Bekasi dan Karawang sering dikaitkan dengan keberadaan kerajan ini. Menurut Poerbatjaraka nama Candrabhaga yang tersebut dalam Prasasti Tugu merupakan nama sebuah sungai di India yang diberikan pada nama sungai di Jawa. Melalui kajian etimologi nama tersebut sama dengan nama Bekasi yang diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanagara.

Berita Cina tertua yang menyinggung tentang Kerajaan Tarumanagara dilaporakan oleh Fa-Shien tahun 414 M yang menyebutkan bahwa di Taruma (Yepoti) sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Budha tetapi banyak ditemukan orang-orang brahmana dan mereka yang beragama kotor . Dengan demikian adanya aktifitas perdagangan internasional dan didukung oleh kehadiran Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat dapat dipandang sebagai faktor pendorong munculnya Komplek Pemujaan Batujaya. Keberadaan komplek pemujaan ini juga dapat dipahami sebagai suatu proses penerimaan masyarakat Sunda kuna terhadap hadirnya Agama Hindu-Budha di Jawa Barat.
 
Beberapa Bangunan Candi di Komplek Batujaya
Kegiatan survei dan ekskavasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi nasional(P3AN) sejak tahun 1992 sampai sekarang tahun 2006  berhasil mengidentifikasikan 31 lokasi yang diduga mengandung bangunan candi.  Lokasi candi yang telah diketahui oleh penduduk, biasa disebut dengan istilah unur (gundukan)  sedangkan beberapa lokasi lainnya ditemukan pada  saat  dilakukan  survei  dan  penamaannya  mengikut  nama  desa  tempat tinggalan  tersebut  ditemukan. Beberapa  bangunan  candi  yang  menarik  di Komplek Batujaya hasil penelitian PPA sejak tahun 1992 -2006 antara lain : 

Unur (Candi) Jiwa / Segaran I 

Candi Jiwa  yang  dikenal  sebagai  Unur  Jiwa,  terletak  di  tengah  areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa.
Unur (Candi) Blandongan / Segaran V
Candi ini memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 meter. Candi bata ini bertingkat satu dengan sebuah stupa di bagian tengahnya. Pada lantai dasar terdapat empat tangga masuk pada yang berorientasi pada empat arah mata angin, yakni timurlaut, tenggara, baratdaya, dan baratlaut. Namun hanya sisi timurlaut saja yang memilki gapura pintu masuk. Masing-masing tangga masuk ini memiliki pipi tangga di sisi kiri dan kanan. Beberapa anak tangganya dibuat dari batu cetakan. Profil dinding kaki candi memiliki bentuk pelipit gerigi ganda dan halround. Dari sisa lepa yang tersisa tampaknya dahulu seluruh bagian candi dilapisi oleh lepa putih.
Pada tingkat pertama terdapat halaman (selasar) yang berukuran 17,64 x 17,64 meter mengelilingi struktur bangunan yang merupakan tempat stupa di atasnya. Lantai selasar ini dilapis oleh kerikil yang dicampur dengan adonan lepa putih. Adanya sisa batu andesit berdiameter sekitar 30 cm dan lubang sisa tiang di sekeliling teras pertama ini mengindikasikan bahwa dahulu pernah didirikan tiang-tiang kayu yang mengelilingi bagian stupa. 

Bagian stupa pada teras teratas hanya tersisa struktur bangunan yang berdenah bujursangkar berukuran 9,2 x 9,2 meter dan runtuhan stupa yang telah dilapis oleh campuran kerikil dan stuko putih di sisi baratlaut lantai selasar .

Categories: